Please enable JS

ANAK BELAJAR DALAM KEHARMONISAN : HARUS KOOPERATIF ANTARA SEKOLAH DAN ORANG TUA

18 Agustus 2020 / Dwi Benny Kisoworo
ANAK BELAJAR DALAM KEHARMONISAN : HARUS KOOPERATIF ANTARA SEKOLAH DAN ORANG TUA

 

Penulis : Dwi Benny Kisworo, S.Pd*

Editor : Siti Nur Khasanah, S.Pd**

 

Sulit diingkari, kedatangan virus korona langsung mengguncang kemapanan yang telah ada di tiap-tiap keluarga dalam memaknai kegiatan belajar anak. Bagi keluarga yang selama ini cenderung menganut cara pandang Barat, terdapat keyakinan bahwa pengetahuan diperoleh terutama melalui pemahaman akan dunia, pengembangan keterampilan individu dan pencapaian tujuan. Proses belajar, dengan demikian, dipandang sebagai jalan untuk mendapatkan pengetahuan melalui atribut-atribut individual, seperti minat, bakat, dan kesungguhan anak saat menempuh proses itu.

Sebaliknya, pada masyarakat Timur, termasuk berdasarkan nilai-nilai keislaman yang dianut sebagian besar masyarakat di Tanah Air, belajar disikapi sebagai sebuah panggilan moral. Kehidupan anak secara umum dan kegiatan belajar secara khusus memang perlu diikhtiarkan berlangsung dalam suasana yang menyenangkan. Namun, pada sisi yang sama, tak dapat dielakkan bahwa kehidupan dan belajar juga merupakan perjalanan menempuh perjalanan terjal yang menuntut kerja keras.

Kekhususan di atas berimplikasi pada perbedaan sasaran psikologis dari proses belajar. Orientasi pendidikan Barat menempa terbangunnya kemandirian anak. Sementara itu, pendidikan Timur memanggil para orangtua untuk mendampingi anak-anak mereka pada setiap langkah pencarian pengetahuan itu sehingga di sini keberhasilan anak melalui program pendidikan sungguh-sungguh dirasakan juga sebagai keberhasilan orangtua. Jadi, melalui proses belajar, kelekatan anak dan orangtua diucapkan maupun tidak, menjadi sasaran yang justru ingin dicapai.

Seberapa konsekuen orangtua dengan filosofi dan sasaran psikologis itu. Sekali lagi, seolah dipertanyakan sebagai dampak pandemi Covid-19. Masalahnya, karena orangtua harus bekerja di luar rumah dalam waktu yang tidak sebentar, mereka dipaksa keadaan untuk bergeser ke filosofi pendidikan ala Barat. Orangtua harus membangun kemandirian anak agar buah hati mereka dapat bertahan dalam situasi tak didampingi ayah bunda. Maraknya bisnis bimbingan belajar dan kursus nonakademik, misalnya, merupakan refl eksi dari kegigihan orangtua masa kini yang berhasrat melihat anak mereka tumbuh lebih cepat menjadi pribadi mandiri.

Manakala kehidupan keluarga sudah bertransformasi sedemikian rupa, tiba-tiba orangtua dipaksa bekerja dari rumah. Pada waktu yang sama, anak-anak pun diharuskan belajar dari rumah. Sayangnya, berkumpulnya ayah, ibu, dan anak dalam waktu panjang di rumah di musim virus korona ini bukanlah by design, melainkan by accident. Akibatnya, keluarga pun tergagap-gagap berada dalam situasi saat mereka dituntut untuk mengaktifkan kembali filosofi pendidikan ala Timur yang sejatinya dulunya ialah ciri khas relasi orangtua-anak di Tanah Air kita. Konkretnya, orangtua kini bersusah payah menemukan titik keseimbangan antara status sebagai orang yang mencari nafkah dan status sebagai orang yang melakukan ‘asah, asih, dan asuh’ atas kehidupan putra-putrinya.

Betapa pun berbeda, perbedaan antara dua filosofi pendidikan di atas sesungguhnya tidak perlu dibesar-besarkan. Filosofi Barat dan Timur memiliki positif-negatifnya masingmasing. Meskipun demikian, hemat saya, di tengah situasi serba tak menentu yang telah berlangsung sejak triwulan pertama 2020 ini, keharmonisan sosial sebagai tujuan pendidikan berfilosofi Timur tampaknya patut lebih dikedepankan.

Keharmonisan sosial akan menjadi aset psikologis yang sangat berharga bagi bangsa ini untuk terus bertahan, bahkan bergerak maju melalui periode sulit. Bukan saatnya lagi bagi tiap-tiap anak bangsa untuk mempertajam competitiveness mereka. Sebaliknya, bahkan tidak sebatas di Indonesia, di seluruh dunia pun warga bumi diharuskan mempererat togetherness satu sama lain.

Begitu vitalnya keharmonisan sosial, yang dalam konteks ini saya lukiskan sebagai anakanak yang menjalani pembelajaran jarak jauh bersama ayah bunda sebagai sosok guru, juga didukung sejumlah riset. Sekian banyak metaanalisis menyimpulkan tali-temali antara pencapaian akademik siswa dan kehadiran orang tuamereka. Secara umum, anak-anak memiliki prestasi akademik lebih baik saat orangtua mendampingi kegiatan belajar mereka. Orangtua di situ bukan sekadar ibu. Meta-analisis lainnya menemukan, baik ayah maupun ibu memiliki kontribusi setara bagi kemajuan belajar darah daging mereka.

Kajian-kajian tersebut menjadi penyemangat bagi seluruh orangtua di Indonesia bahwa mereka sesungguhnya mampu memberikan pengaruh signifikan bagi pencapaian belajar anak-anak.

Kuncinya tidak terletak sekadar pada ada tidaknya keterampilan pedagogik orangtua. Butir sentralnya ialah kehadiran ayah bunda menciptakan ketenteraman pada batin putra-putri tercinta. Ketenteraman itulah merupakan atmosfer proses pembelajaran yang didambakan anak. Semakin anak merasa tenteram, semakin memuaskan pula pengalaman dan prestasi belajar mereka.

Ciptakan bersama

Ketenteraman dan kedamaian semacam itu, pada masa wabah saat ini, tentu harus diciptakan bersama oleh otoritas pendidikan, pihak sekolah, dan orangtua. Keterlibatan triparti pendidikan itu juga yang saya tangkap sukmanya dalam kebijakan yang diambil Kemendikbud. Terbaca pada Siaran Pers 210 dan 211, Kemendikbud mengunci triparti tersebut untuk selalu bersisian saat membuat keputusan tentang kegiatan dan muatan belajar anak.

Secara nyata, agar ketenteraman dapat tercipta, orangtua patut mengalokasikan perhatian untuk sepenuhnya berada di hati anak-anak saat belajar. Otoritas pendidikan perlu cermat setiap saat dalam membaca situasi, menyu sun protokol penyesuaian diri, serta memberikan kelenturan bagi praktik belajar-mengajar. Pihak sekolah juga perlu percaya diri untuk lepas dari bayang-bayang traumatis ujian nasional.

Penyeragaman muatan pendidikan bukan lagi harga mati seperti pada waktu silam. Sekolah harus yakin bahwa kurikulum kehidupan ialah jauh lebih penting dan—ini dia—lebih potensial untuk mendatangkan keasyikan bagi anak-anak dan orangtua selama belajar di rumah.

Esensinya, semua pihak patut memiliki kesadaran yang sama bahwa belajar di masa krisis covid-19 bukan lagi studying, melainkan learning. Studying diasosiasikan sebagai ‘tangan ke atas, tangan ke samping, tangan ke depan, dan duduk yang rapi (anak duduk diam dengan ta ngan bersedekap di atas meja)’.

Muatannya sangat besar pada dimensi kognisi-akademik, sedangkan learning melibatkan area-area otak secara lebih menyeluruh, tak terkecuali afeksi-nonakademik. Kurangnya pemahaman sebagian besar dari kita akan hal itulah yang mendorong banyak sekolah gencar menyelenggarakan tatap muka berbasis online. Padahal, semakin belia usia anak, pada umumnya semakin tinggi pula stimulasi kinestetik yang mereka butuhkan. Itulah penjelasan mengapa banyak siswa sekolah dasar tidak lagi bergairah mengikuti kelas-kelas online karena di situ mereka dipaksa harus studying, bukan learning.

Dengan kesadaran bahwa pembelajaran jarak jauh ialah distant learning bukan distant studying, kendala sinyal internet sesungguhnya akan teratasi. Format belajar menggunakan aplikasi komunikasi internet bisa ditekan seminimal mungkin. Penugasan bagi anak-anak di masa belajar saat ini barangkali tidak akan banyak menguatkan mereka secara akademis, tetapi sisi istimewanya, selepas pandemi covid-19 berlalu, anak-anak akan bertransformasi menjadi insan yang lebih utuh. Itu akan dapat terealisasi manakala—saya garis bawahi kembali—dunia pendidikan kita di masa darurat ini berpijak pada learning (bukan studying) dan menuju penciptaan harmoni sosial, bukan daya saing.

 

 

*Dwi Benny Kisworo, S.Pd adalah guru Bimbingan Konseling SMP Texmaco Semarang

**Siti Nur Khasanah, S.Pd adalah guru Bahasa Indonesia SMP Texmaco Semarang

 

Bagikan ke sosial media :

Artikel Terkait