Guru merupakan salah satu elemen penting dalam sistem pendidikan nasional. Sebagai garda terdepan dalam proses pendidikan dan pembelajaran di satuan pendidikan,
mutu pendidikan sangat ditentukan oleh mutu guru. Oleh sebab itu, peningkatan mutu guru merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan jika mutu pendidikan satuan pendidikan khsuusnya di Indonesia ingin meningkat
Seiring dengan tuntutan pemerintah pusat untuk mengimplementasikan kurikulum 2013, berbagai upayan untuk peningkatan mutu guru terus dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tujuannya agar guru mampu beradaptasi dengan dinamika kurikulum yang terus berkembang dan menjawab tantangan zaman dalam menyiapkan generasi emas 2045. Berbagai model pelatihan dilakukan baik secara tatap muka (luar jaringan/luring), dalam jaringan (daring), maupun combine antara keduanya (luring dan daring). Berbagai materi diberikan disertai dengan penyusunan lembar kerja (LK). Lembar kerja menjadi trend tersendiri dalam pelatihan guru beberapa tahun terakhir. Tujuannya agar ada proses berpikir dan berlatih atau praktik dari para peserta pelatihan. Dengan kata lain, pemahaman konsep ditindaklanjuti oleh praktiknya. Pasca paparan umum oleh fasilitator, para peserta diklat disibukkan mengisi lembar kerja dalam waktu tertentu dan hasilnya wajib dikumpulkan baik dalam bentuk soft copy maupun hard copy.
bermacam-macam karakter peserta pelatihan pada saat mengerjakan lembar kerja tersebut. Ada yang antusias, ada yang hanya sekadar mengerjakan lembar kerja, dan ada yang cenderung kurang serius, apalagi saat lembar kerja dikerjakan secara berkelompok, masih ada peserta yang selalu diandalkan membereskan lembar kerja tersebut, sedangkan anggota yang lain kurang berkontribusi. Hal ini berdampak terhadap kualitas hasil dari lembar kerja tersebut. Akibatnya, kualitas lembar kerja beragam. Ada yang bagus dan ada yang asal jadi saja, bahkan tidak tertutup kemungkinan, isinya pun sekedar meng-copy dari sumber lain.
Beragamnya kualitas lembar kerja yang dihasilkan oleh peserta pelatihan tidak hanya disorot dari beragamnya kemampuan dan memahamkan peserta dalam mengerjakan lembar kerja, tetapi juga perlu dilihat juga dari lembar kerja itu sendiri. Misalnya, kurang proporsionalnya antara waktu yang tersedia dengan lembar kerja yang harus dikerjakan. Ada kalanya suatu materi yang hanya 2 JP, tetapi lembar kerja banyak, sehingga para peserta kewalahan mengerjakannya. Tetapi ada juga materi yang jumlah JP-nya cukup banyak, tetapi lembar kerja sedikit, sehingga para peserta banyak menganggur.
Fasilitator yang kaku, tidak melihat situasi dan kondisi menginstruksikan bahwa semua lembar kerja wajib dikerjakan dengan alasan sebagai tagihan wajib dan akan dinilai menjadi bagian yang kurang menyenangkan dalam sebuah pelatihan. Para peserta pelatihan selain diberikan pemahaman konsep, juga perlu diberikan ruang untuk latihan atau praktik, tanpa "mencekoki" para peserta itu dengan lembar kerja yang kadang bertele-bertele itu dengan alasan agar sistematis. Akibatnya, kadang peserta jenuh atau bosan dengan lembar kerja tersebut. Dari sisi format dan keterbacaan, kadang masih dijumpai lembar kerja yang ambigu atau kurang dipahami oleh peserta pelatihan serta minimnya penjelasan dari fasilitator.
Ukuran kesuksesan dari sebuah pelatihan guru bukan seberapa banyak lembar kerja yang dikerjakan oleh peserta pelatihan, melainkan sejauh mana kesadaran dan pemahaman guru terhadap tugas pokok dan fungsinya. Lembar kerja hanya sebagai alat bantu pelatihan, bukanlah suatu hal yang sakral. Harus diberikan ruang kepada para peserta untuk memodifikasi, menyederhanakan, atau mengembangkan lembar kerja tersebut agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Istilah format-format "terstandar" jangan menjadi alasan lembar kerja tersebut tidak boleh diubah-diubah karena lembar kerja tersebut merupakan hasil pemikiran-pemikiran tim pengembangnya yang sewaktu-waktu juga bisa berubah.
Para fasilitator pun perlu menelaah urgensi, efektivitas, kepraktisan, dan keterbacaan lembar kerja yang diberikan saat pelatihan, karena situasi dan kondisi dan situasi yang dihadapinya pun beragam. Pengembangan lembar kerja harus sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Disitulah pentingnya fasilitator yang kreatif. Dan hal yang tidak kalah penting adalah fasilitator perlu memberikan umpan balik (feedback) atau penguatan dari lembar kerja yang dikerjakan atau dipresentasikan oleh peserta pelatihan, tidak dibiarkan mengambang untuk mencegah kesenjangan pemahaman atau beragamnya persepsi peserta pelatihan.
Hal yang paling substansial dari sebuah pelatihan guru adalah membangun pola pikir (mindset) guru untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Adapun strateginya diserahkan kepada guru itu sendiri, karena guru memiliki gaya mengajar masing-masing. Mengajar bukan hanya sekadar mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga soal rasa dan seni dalam melakukannya. Dua hal inilah yang menjadikan setiap guru memiliki ciri khas atau karakter masing-masing. Belum lagi guru dihadapkan pada para peserta didik yang memiliki beragam karakter dan sarana-prasarana kelas yang beragam pula. Jadikan guru sebagai aktor, bukan sebagai administrator. Berikan guru ruang untuk berkreativitas dalam mengajar, bukan disibukkan dengan berbagai administrasi yang membebani mereka.
Presiden sampai Mendikbud sudah mengingatkan bahwa guru jangan dibebani dengan berbagai administrasi pembelajaran agar lebih fokus dalam mengajar, tetapi sayangnya pada praktiknya guru masih dibebani dengan berbagai administrasi yang bertele-tele. Jangan sampai administrasi KBM-nya lebih tebal dari buku pelajaran yang diajarkannya yang kadang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan administratif seperti kegiatan supervisi dan akreditasi. Setelah itu, berbagai administrasi itu hanya menjadi dokumen mati saja. Ibaratnya, membuat RPP nya 2 hari sedangkan mengajarnya hanya 2 JP.
Apakah ada jaminan guru menyampaikan materi persis seperti yang ditulisnya pada RPP? Belum tentu. Cukuplah guru hanya mencatat hal-hal penting yang akan diajarkannya, tidak perlu sampai detil, misalnya dalam bentuk peta konsep (mind map) karena dalam praktiknya bisa saja berubah, sesuai dengan situasi dan kondisi.
Ada hal yang lebih menantang atau mendesak untuk dilakukan oleh guru dari sekadar mengerjakan administrasi, yaitu membangun karakter atau budi pekerti peserta didik dimana saat ini cenderung semakin mengkhawatirkan. Integrasi nilai-nilai karakter bukan hanya menambah "warna-warni" RPP yang dibuat oleh guru, tetapi bagaimana nilai-nilai tersebut diinternalisasikan kepada para peserta didik. Dan inilah yang banyak terjadi dalam berbagai pelatihan. Guru diminta membuat RPP yang banyak "embel-embelnya" seperti integrasi literasi, PPK, 4C, HOTS, dan sebagainya, tetapi dalam praktiknya di kelas kadang berbeda dengan apa yang tertulis di RPP.
Kembali kepada soal pelatihan guru, pemerintah perlu terus mengembangkan strategi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan guru, bersifat kontekstual, disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan informasi di era digital dan era revolusi industri 4.0 jangan hanya terfokus kepada pengerjaan lembar kerja yang bertumpuk, kadang bertele-tele dan kadang membosankan.
Bagikan ke sosial media :